Kerja Tipu-Tipu: Di Balik Industri Scam yang Lebih Mengerikan dari Sekadar Kejahatan Digital

Kerja Tipu-Tipu: Di Balik Industri Scam yang Lebih Mengerikan dari Sekadar Kejahatan Digital
Waspada, bahaya mengintai dari iklan online. (ilustrasi)

Telegrapnews.com, Batam — Penipuan online bukan lagi sekadar pesan WhatsApp dari “bank” atau telepon gelap mengaku sebagai polisi. Di balik layar, ada industri gelap yang jauh lebih kejam — dan banyak dari korbannya adalah anak-anak muda Indonesia yang dijebak untuk bekerja sebagai operator scam di luar negeri.

Aktivis kemanusiaan Chrisanctus Paschalis Saturnus, atau yang akrab disapa Romo Paschal, mengungkapkan realita mengejutkan: ribuan orang direkrut dengan janji manis pekerjaan kantoran, namun berakhir sebagai budak digital.

Romo Paschal, aktifis kemanusiaan (ist)

“Mereka pikir akan kerja di kantor ber-AC. Sampai di sana, paspor disita, dipaksa nipu dari pagi sampai pagi lagi. Kalau target tak tercapai, disiksa. Bahkan ada yang sampai harus jual ginjal buat bayar ‘denda’,” ujar Romo Paschal.

BACA JUGA:  Pria Karimun Babak Belur Dikeroyok di Apartemen Formosa, Polda Kepri Tangkap 2 Pelaku

Bukan film. Bukan cerita fiksi. Ini nyata.

Yang lebih menyakitkan, menurut Romo, banyak pelaku di balik industri ini justru orang Indonesia sendiri. Dari perekrut, eksekutor, hingga pemodal — semua terlibat dalam rantai perbudakan modern ini.

“Scam bukan lagi soal penipuan digital. Ini adalah bentuk baru dari perbudakan zaman sekarang. Para korban kehilangan masa depan, dihancurkan secara fisik dan mental, dan hidup dalam bayang-bayang trauma,” jelasnya.

BACA JUGA:  Terlibat Tindak Pidana Orang, Polda Kepri Tangkap WNA Malaysia di Pelabuhan Batam Center

Kisah mereka jarang terdengar. Banyak yang tak bisa pulang. Ada yang dipenjara di negara lain karena dianggap pelaku, padahal mereka korban.

Modusnya kejam dan sistematis. Para korban biasanya dijanjikan gaji besar dan fasilitas mewah di luar negeri. Tapi setibanya di lokasi—Thailand, Myanmar, Kamboja, Laos, hingga Filipina—semua berubah.

Mereka dimasukkan ke dalam gedung tertutup, dilarang berkomunikasi dengan dunia luar, dan dipaksa bekerja 18–20 jam sehari untuk menipu orang dari berbagai negara.

Tak hanya dipukul atau disiksa. Beberapa korban bahkan dipaksa menandatangani kontrak “kerja” senilai ratusan juta rupiah, dan akan didenda atau dijual ke sindikat lain jika gagal memenuhi “target”.

BACA JUGA:  Dua Polisi di Batam Jadi Korban Pengeroyokan Oknum TNI dan Warga Sipil

Dan semua itu berawal dari klik iklan lowongan kerja di media sosial.

“Jangan bangga kalau kamu punya uang dari hasil nipu orang. Uang itu datang dari air mata dan kehancuran hidup orang lain,” pungkas Romo Paschal.

Kini, Romo bersama jaringan aktivis dan lembaga HAM terus berjuang menyuarakan kasus ini ke tingkat internasional. Mereka mendesak pemerintah Indonesia untuk lebih aktif melindungi warganya dari jerat perdagangan manusia digital dan menghukum para pelaku dengan tegas — tanpa pandang bulu.

Penulis: lcm