Telegrapnews.com, Batam – Santi seorang Ibu Rumah Tangga (IRT) berusia 40 tahun akhirnya mendekam dibalik dinginnya jeruji besi penjara Rumah Tahanan (Rutan) Wanita Baloi, Kecamatan Lubukbaja, Kota Batam.
Dia ditahan sejak 4 Desember 2024 lalu setelah Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Kepulauan Riau (Kepri) menangkap dan melimpahkan perkara ibu dengan dua orang anak tersebut ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Batam.
Perkara ini berawal dari 19 Juli 2024 lalu ketika Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) BPOM Kepri mengetahui Santi menjual koyo dan alat kesehatan dari informan BPOM. Informasi itu BPOM langsung mendatangi Toko San Vanela di Komplek Penuin Centre, Kelurahan Batu Selicin, Kecamatan Kecamatan Lubukbaja, Kota Batam.

Kala itu tim PPNS BPOM menemukan sejumlah koyo dan alat kesehatan didalam toko tersebut. Setelah dilakukan pemeriksaan ditemukan 45 item obat kuasi berbentuk koyo buatan Tiongkok.
Rabu, 8 Januari 2024 sidang perdana dakwaan untuk terdakwa Santi, wanita kelahiran Tanjungpinang ini pun digelar. Setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) Muhammad Arfian membacakan dakwaannya dilanjutkan dengan pemeriksaan 3 orang saksi yakni tiga pegawai BPOM Batam dan Tjesin suami terdakwa.
“Kami mengetahui terdakwa menjual koyo setelah mendapat informasi dari informan kami Yang Mulai Majelis Hakim,” kata saksi David Indra Pratama, SH seorang PPNS BPOM Kepri.
Bisnis Suami Hancur Saat Covid-19
Sementara itu, saksi Tjesin, suami terdaka memberikan kesaksian yang cukup mengharukan. Dengan mata berkaca-kaca dan suara terbata-bata dirinya tidak menampikkan istrinya yang berjualan koyo secara online. Hal itu dilakukan karena dirinya sebagai suami sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan rumah tangganya yang hancur lebur kala COVID-19 melanda negeri ini.
“Istri saya mengambil inisiatif untuk berjualan koyo secara online dengan tujuan membantu saya sebagai suami. Keuangan kami hancur lebur saat bisnis saya tidak mampu bergerak dibantai situasi setelah Covid-19,” ujarnya kepada majelis hakim.
Dijelaskannya, penghasilan yang didapatkan istrinya tidaklah begitu besar setiap bulannya, namun mampu membantu keuangan rumah tangganya.
“Sebulan sekitar 7-10 juta rupiah yang bisa dihasilkan istri saya dari menjual koyo secara online. Tidak banyak memang, tapi mampu membantu keluarga kami yang terdiri dari suami, istri, dua orang anak dan seorang paman yang dalam kondisi buta dan tuli sehingga membutuhkan perawatan khusus,” ujar Tjesin.
Tjesin, pria kelahiran Tanjungpinang ini juga menjelaskan, dia dan istrinya tidak memiliki niat sama sekali untuk mengelabui petugas atau untuk membohongi aparat guna memperkaya diri. Ketidaktahuan akan aturan tentang izin edar adalah pangkal musibah yang menimpa bahtera rumah tangganya.
“Tidak ada niat dari keluarga kami untuk mengelabui atau berbohong kepada petugas. Istri saya memang sama sekali tidak tahu jika menjual koyo harus memiliki izin edar dan sebagainya. Kami mohon majelis hakim bermurah hati, tolonglah kami,” katanya sambil menangis di hadapan majelis hakim.
Keterangan Saksi Ahli
Sementara dari saksi ahli dalam bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Dr. Laurensius Arliman Simbolon, SH., MH., MM., M.Pd., M.Si., M.I. MKN, menyampaikan bahwa BPOM memiliki peraturan yang baru keluar, yakni Peraturan BPOM Nomor 14 Tahun 2024.
Peraturan ini otomatis mencabut dan membatalkan Peraturan Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pengawasan Obat dan Makanan yang diedarkan secara daring (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 336) dan Peraturan BPOM Nomor 32 tahun 2020 tentang pengawasan obat dan makanan yang diedarkan secara daring (Berita Negara Republik Indonesia nomor 1664).
Ia juga menegaskan bahwa Peraturan BPOM nomor 14 tahun 2024 itu dikatakan bahwa pelaku usaha dan atau pihak ketiga yang melakukan pelanggaran menjual obat izin edar secara daring, maka sesuai dengan Pasal 27 ayat 2 dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan;
b. peringatan keras;
c. larangan mengedarkan untuk sementara waktu; dan/atau
d. perintah untuk penarikan kembali obat dan makanan.
Sementara pada Pasal 27 ayat 3 juga dijelaskan bahwa Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan oleh Kepala Badan.
Serta pada Pasal 27 ayat 4 diungkapkan bahwa Kepala Badan dapat menyampaikan rekomendasi berdasarkan hasil pengawasan Peredaran Obat dan Makanan secara Daring kepada kementerian/lembaga penerbit perizinan berusaha untuk perizinan berusaha yang diterbitkan oleh instansi selain Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Seterusnya di Pasal 27 Ayat 5 juga dijelaskan, rekomendasi berdasarkan hasil pengawasan Peredaran Obat dan Makanan secara Daring sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas: a. rekomendasi penutupan Sistem Elektronik; dan/atau b. rekomendasi pencabutan perizinan berusaha.
“Jadi sudah jelas bahwa penjual obat tanpa izin yang dilakukan melalui media sosial, hanya dikenakan sanksi administratif oleh BPOM yang mulia,” kata Ahli Hukum Universitas Ekasakti Padang ini.
Penulis: LCM