TelegrapNews.com, Tanjungpinang – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kepulauan Riau (Kepri) secara resmi menghentikan penuntutan sebuah kasus penganiayaan yang terjadi di Karimun dengan menerapkan pendekatan Keadilan Restoratif (Restorative Justice). Penghentian kasus ini diumumkan secara virtual di hadapan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI, Prof. Dr. Asep Nana Mulyana.
Berdasarkan keterangan dari Kasi Penkum Kejati Kepri, Yusnar Yusuf, S.H., M.H., kasus ini berawal pada Rabu, 26 November 2024, sekitar pukul 18.00 WIB, di sebuah warung kopi di bawah SMAN 2 Karimun.
Saat itu, tersangka bernama Judin Manik dan beberapa orang lainnya sedang minum tuak. Tersangka terlibat perdebatan dengan seorang saksi mengenai persoalan Pemilihan Kepala Daerah.
Berdasarkan visum et repertum dari RSUD Muhammad Sani, korban mengalami sejumlah luka, antara lain:
· Lecet pada leher, dada, perut, dan punggung.
· Luka robek pada pipi. Luka-luka tersebut dinyatakan akibat kekerasan tumpul.
Penghentian penuntutan ini disetujui setelah dinyatakan memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran terkait. Adapun pertimbangan yang mendasari keputusan ini adalah:
- Telah tercapai kesepakatan perdamaian antara korban dan tersangka.
- Tersangka belum pernah dihukum dan ini adalah kali pertama ia melakukan tindak pidana.
- Ancaman pidana penjara untuk kasus ini tidak lebih dari 5 tahun.
- Tidak ada kerugian materiil yang dialami korban.
- Tersangka telah mengakui kesalahan dan meminta maaf, yang telah dimaafkan oleh korban.
- Pertimbangan sosiologis, di mana masyarakat merespons positif penyelesaian ini untuk menjaga keharmonisan warga.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku, Kepala Kejaksaan Negeri Karimun selanjutnya akan memproses penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan Keadilan Restoratif.
Kejati Kepri menegaskan bahwa penyelesaian tindak pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif menekankan pada:
· Pemulihan keadaan.
· Keseimbangan perlindungan bagi korban maupun pelaku.
· Tidak berorientasi pada pembalasan.
Kebijakan ini disebut sebagai kebutuhan hukum masyarakat dan bagian dari pembaharuan sistem peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Meski demikian, ditekankan bahwa keadilan restoratif bukanlah bentuk pengampunan yang memberikan ruang bagi pelaku untuk mengulangi tindak pidana. (***)