
Telegrapnews.com, Batam – Konflik di Pulau Rempang kembali memanas. Peristiwa kekerasan yang terjadi pada Rabu dini hari (18/12/2024) menjadi puncak ketegangan antara warga yang menolak relokasi dengan orang suruhan PT Makmur Elok Nugraha (MEG).
Kekerasan, ancaman, dan perusakan properti kini menjadikan Pulau Rempang sebagai pusat ketegangan antara sejarah panjang dan modernisasi yang dipaksakan.
Malam Mencekam di Sembulang Hulu

Edi Jumardi, salah seorang warga Sembulang Hulu, yang menyaksikan langsung serangan tersebut, tak pernah membayangkan malam itu akan menjadi malam penuh teror.
Dalam wawancaranya kepada wartawan, Edi menggambarkan bagaimana ia dan anaknya menjadi korban pemukulan serta sabetan parang yang dilakukan oleh puluhan orang yang datang secara tiba-tiba.
“Anak saya dipukuli, saya juga terkena sabetan parang di punggung. Kami tidak tahu apa salah kami, tiba-tiba saja kami diserang,” ujar Edi dengan wajah yang masih tampak ketakutan.
Abu Bakar, seorang pria lanjut usia, juga mengalami hal serupa. Sekelompok orang tak dikenal turun dari truk besar dan mendatangi rumahnya.
Abu mengaku, lehernya sempat ditodong dengan parang oleh salah seorang pelaku yang menuduhnya terlibat dalam insiden sebelumnya.
“Mereka menuduh saya terlibat dalam pemukulan, tapi saya tidak tahu apa-apa. Mereka bahkan menempelkan parang ke leher saya,” kata Abu, suaranya bergetar mengingat ancaman yang diterimanya.
Awal Penyerangan: Konflik Memuncak

Bentrokan dimulai setelah warga memergoki lima orang yang diduga anggota PT MEG merusak spanduk penolakan terhadap proyek tersebut di Sembulang Hulu. Ketika salah seorang dari mereka diamankan oleh warga, situasi segera berubah kacau. Tak lama kemudian, truk berisi puluhan orang datang dan melancarkan serangan terhadap warga yang menentang proyek itu.
Ferdiansyah, seorang remaja yang menjadi korban dalam insiden tersebut, menceritakan dengan ketakutan bagaimana ia dipukuli dan diancam oleh para pelaku yang mendobrak masuk ke rumahnya.
“Mereka bilang akan membunuh saya sambil menempelkan parang ke leher,” kata Ferdiansyah dengan suara gemetar.
Pulau Rempang: Warisan Sejarah yang Terancam

Rempang bukan sekadar sebuah pulau yang terletak di Kepulauan Riau, tetapi juga memiliki sejarah yang sangat kaya. Penduduk asli Rempang terdiri dari suku Melayu, Orang Laut, dan Orang Darat yang telah lama menghuni pulau ini, bahkan sejak masa Kesultanan Melaka.
Pulau Rempang dan Galang pernah menjadi bagian dari kerajaan maritim yang dilindungi oleh armada laut Kerajaan Bintan Temasik pada abad ke-16.
Menurut Dedi Arman, sejarawan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kehidupan masyarakat di Pulau Rempang sudah ada jauh sebelum masa penjajahan Belanda. Mereka memainkan peran penting sebagai penjaga pesisir dari ancaman kolonial.
“Pulau Rempang adalah bagian dari sejarah maritim Indonesia yang sangat berharga,” jelas Dedi.
Namun, sejarah panjang ini kini terancam oleh rencana besar PT MEG untuk mengubah pulau ini menjadi Rempang Eco City. Proyek tersebut akan mencakup lebih dari 17.000 hektare tanah yang rencananya akan dibangun menjadi kawasan industri, perdagangan bebas, pelabuhan, dan tempat wisata. Total investasi yang diperkirakan mencapai Rp 381 triliun.
Investasi Besar, Ancaman Besar bagi Warga Lokal
Proyek ambisius ini mengusung harapan akan kemajuan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Namun bagi warga asli Rempang, proyek yang dikelola PT MEG ini justru membawa ancaman besar bagi keberadaan mereka.
Adapun perusahaan PT Mega Elok Graha (MEG) merupakan anak perusahaan milik Tomy Winata, Artha Graha Network (AG Network). PT MEG mendapatkan hak pengelolaan terhadap 17.000 hektare lebih lahan di kawasan Rempang sejak 2004 hingga kini.
“Bahwa lahan yang kita sepakati diberikan ke PT MEG dari 2004 sampai hari ini, itu adalah lebih kurang 17.600 hektare. Khusus buat PT MEG di atas 17 ribu ada hutan lindung 10.028 hektare. Sisanya 7.572 hektare itu yang akan dikembangkan,” kata Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, Jumat, 15 September 2023.
Proyek Rempang Eco City direncanakan meliputi lebih dari 17.000 hektare tanah. Tujuannya untuk menciptakan kawasan perdagangan bebas, pelabuhan, dan tempat wisata, dengan total investasi yang diperkirakan mencapai Rp 381 triliun.
Proyek ini dijanjikan akan menciptakan lapangan kerja untuk ratusan ribu orang dan mendatangkan kemajuan ekonomi. Namun, bagi warga asli yang sudah bertempat tinggal di sana selama ratusan tahun, rencana tersebut membawa ancaman besar.
Sebanyak 16 kampung yang dihuni oleh warga asli suku Melayu dan suku Laut, terancam digusur untuk memberi jalan bagi proyek ini.
Inilah yang menjadi alasan mereka menolak PSN Rempang Eco City di sana. Pasalnya, kehadiran proyek ini membuat mereka tergusur dari tanah kelahiran dan tanah tumpah darah nenek moyang Suku Melayu.
Banyak warga yang merasa bahwa hak-hak mereka sebagai penghuni pulau ini tidak dipertimbangkan dalam perencanaan proyek tersebut. Mereka menuntut agar hak mereka untuk tetap tinggal di tanah nenek moyang mereka dihargai, mengingat mereka telah bertahan hidup di pulau ini selama lebih dari dua abad.
Bentrokan dengan Aparat: Kekerasan yang Meningkat

Awal Rempang bergejolak pada Kamis (7/9/2023). Bentrokan terjadi karena warga menolak pengembangan kawasan ekonomi Rempang Eco City di lokasi tersebut. Petugas gabungan mendatangi lokasi pukul 10.00 WIB, sementara ratusan warga memblokir jalan, mulai dari Jembatan 4.
Warga menolak masuknya tim gabungan yang hendak mengukur lahan dan pemasangan patok di Pulau Rempang.
Pemblokiran itu dilakukan dengan membakar sejumlah ban dan merobohkan pohon di akses jalan masuk menuju kawasan Rempang. Meski akses jalan mulai dari Jembatan 4 sudah diblokir warga, petugas gabungan tetap memaksa masuk untuk melakukan pemasangan patok.
BP Batam mengaku telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat Pulau Rempang, Galang, untuk melakukan pengukuran tanah batas hutan Rempang, Rabu (6/9/2023). Hal ini, dilaksanakan dalam menindaklanjuti arahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Namun, sosialisasi tersebut tidak diindahkan oleh masyarakat dengan melakukan pemblokiran jalan dan sweeping di Jembatan 4 Barelang.
Sehingga petugas gabungan membubarkan paksa dengan gas air mata kepada sekelompok masyarakat yang melakukan pemblokiran jalan dan sweeping.
Sebelum melepaskan gas air mata, petugas telah meminta masyarakat untuk tidak melakukan pemblokiran jalan, karena tindakan tersebut melanggar hukum. Namun, imbauan tersebut tidak diindahkan. Bahkan ada warga yang melakukan perlawanan dengan melempar batu dan botol kaca.
Petugas kemudian melepaskan tembakan gas air mata untuk membubarkan massa. Sejumlah ibu-ibu dan anak-anak yang berada pada barisan depan untuk mengadang petugas terkena gas air mata. Sejumlah warga juga mengalami sesak napas dan luka.
Namun, tiga hari kemudian terjadi bentrokan kembali. Massa aksi unjuk rasa menolak penggusuran warga di kawasan Rempang Batam berakhir ricuh. Aksi massa pecah itu terjadi di depan Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam, Senin, 11 September 2023.
Dalam aksinya mereka menolak pengembangan Kawasan Rempang Batam karena berakibat pada penggusuran warga adat setempat. Pada awalnya, peserta aksi unjuk rasa yang awalnya melakukan aksi dengan damai, tiba-tiba ricuh dengan menghancurkan pagar.
Tidak hanya itu, lemparan batu, kayu, hingga bom molotov dilemparkan warga ke arah halaman kantor BP Batam. Gas air mata dan water canon juga sudah ditembakkan ke arah kerumunan aksi unjuk rasa oleh petugas.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan bahwa sebanyak 43 orang telah diamankan buntut dari kericuhan warga dengan aparat kepolisian di Pulau Rempang, Kepulauan Riau.
Kejadian ini mengundang perhatian luas, bukan hanya karena eskalasi kekerasan, tetapi juga karena dampak sosial yang mungkin ditimbulkan dari proyek tersebut.
Dampak Sosial dan Budaya yang Dalam
Prof. Abdul Malik, seorang sejarawan dari Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), menyatakan bahwa masyarakat Rempang memiliki nilai sejarah dan budaya yang sangat penting, yang harus dihargai dan dilindungi.
Menurutnya, pemindahan warga dari pulau ini bukan sekadar kehilangan rumah, tetapi juga kehilangan identitas dan warisan budaya yang telah ada sejak masa Kesultanan Bintan Temasik.
“Pulau Rempang adalah bagian dari sejarah maritim Indonesia, dan masyarakat Rempang memiliki peran penting dalam mempertahankan tanah air ini. Jika mereka dipindahkan, kita akan kehilangan lebih dari sekadar rumah, tetapi juga identitas mereka sebagai penjaga perairan dan sejarah Indonesia,” jelas Prof. Malik.
Masa Depan Rempang: Antara Investasi dan Tradisi

Pulau Rempang kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, proyek Rempang Eco City menawarkan janji kemajuan ekonomi. Sementara di sisi lain, hal tersebut menimbulkan kekhawatiran besar bagi warga lokal yang merasa terancam hak-haknya.
Pemerintah dan PT MEG harus mempertimbangkan dengan hati-hati dampak sosial dan budaya dari proyek ini. Serta mencari solusi yang menguntungkan kedua belah pihak.
Bagi warga Rempang, yang telah hidup di sana selama berabad-abad, pertanyaan yang muncul bukan hanya soal keuntungan ekonomi, tetapi juga tentang hak mereka untuk tetap tinggal di tanah nenek moyang mereka yang telah menjadi tempat mereka bertahan hidup selama lebih dari dua abad.
Dengan ketegangan yang semakin memuncak, masa depan Pulau Rempang akan menjadi ujian besar bagi pemerintah Indonesia untuk menciptakan keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian budaya lokal.
Jika tidak ada dialog yang mendalam dan solusi yang adil, konflik ini bisa menjadi contoh bagaimana modernisasi yang tidak memperhatikan nilai-nilai sosial dan sejarah bisa merusak akar budaya yang telah tumbuh begitu dalam di tanah air.
Penulis: denni risman
Editor: denni risman