Telegrapnews.com, Batam – Hutan mangrove di Kota Batam, Kepulauan Riau, kembali menjadi sorotan setelah tumpukan kayu hasil pembalakan liar terlihat menumpuk di tepi Sungai Pelunggut, Dapur 12, Sagulung. Potongan-potongan kayu sepanjang dua meter itu diduga baru saja ditebang dan disiapkan untuk diolah menjadi arang.
Di sekitar lokasi, terpantau tiga tungku arang aktif yang biasanya digunakan untuk membakar kayu bakau. Arang dari kayu mangrove dikenal sebagai bahan bakar berkualitas tinggi dan memiliki permintaan tinggi di pasar ekspor karena tahan panas lebih lama.
“Pohon-pohon ini sering kami lihat dibawa ke sini. Biasanya untuk dibakar jadi arang,” ujar seorang nelayan kepada Mongabay, awal Juli 2025.
Praktik ini dibenarkan oleh Sapet, Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas), yang menyebut aktivitas serupa juga terjadi di berbagai lokasi lain seperti Hulu Air Pulau Kopal, Sungai Aceh, dan Air Buluh.
Meski Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 telah secara tegas melarang penebangan mangrove untuk bahan baku arang, praktik ilegal ini masih marak terjadi.
Hendrik Hermawan, pendiri Akar Bhumi, menyesalkan lemahnya penegakan aturan.
“Mangrove itu benteng alami dari abrasi dan naiknya permukaan air laut. Kalau hilang, pulau-pulau kecil akan jadi korban pertama,” kata Hendrik.
Kerusakan mangrove di Batam bukan hanya karena pembalakan liar. Reklamasi dan alih fungsi lahan besar-besaran juga memperparah kondisi.
Di Pulau Layang, Pulau Pial, Pulau Kapal Besar, dan Pulau Kapal Kecil, kawasan mangrove dibabat demi pengembangan hunian dan proyek komersial. Bahkan, reklamasi ilegal di Kapal Besar dan Kapal Kecil baru-baru ini dihentikan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Parahnya lagi, kawasan lindung seperti mangrove di Panaran, Tembesi, Bulang, seluas 12 hektar juga ditimbun hingga menutup alur sungai. Area tanam mangrove seluas 60 hektar milik BRGM pun ikut terdampak.
“Sudah kami laporkan ke Kementerian Kehutanan. Total ada 30 lebih kasus perusakan mangrove di Batam,” ungkap Hendrik.
Polisi Kehutanan Hanya Bisa Pasrah
Karmawan, Koordinator Polisi Kehutanan KPHL Unit 2 Batam, mengakui bahwa luas mangrove di Batam sekitar 17 ribu hektar, namun pengawasan sangat terbatas, apalagi di luar kawasan hutan yang masuk APL (Areal Penggunaan Lain).
Lebih memprihatinkan lagi, penyelundupan batang mangrove untuk kebutuhan cerucuk bangunan ke luar negeri juga masih terjadi.
Menurut Karmawan, praktik ini dilakukan kapal-kapal dari luar Batam, menjadikan kota ini sebagai pintu keluar aktivitas ilegal.
“Kayu-kayu kecil pun kini dibabat. Tidak ada aturan tegas, tidak ada pembinaan. Ini harus jadi perhatian semua pihak,” kata Karmawan.
Ia mendorong adanya kolaborasi kuat antara penegak hukum, seperti Bakamla, PSDKP, dan Gakkum KLHK, untuk menyelamatkan hutan mangrove yang kini berada di ujung tanduk.
Sumber: mongabay
Editor: dr