Hendrik Hermawan menambahkan, temuan tersebut bukan hanya di kawasan Dreamland. Pihaknya juga mendapati indikasi serupa di wilayah Tanjung Piayu, Sei Beduk, di mana tumpukan sampah dibakar di ruang terbuka tanpa perlindungan.
“Kami menduga praktik ini tidak berdiri sendiri, tapi sudah menjadi kebiasaan di beberapa titik. Jika tidak segera dihentikan, Batam akan menghadapi krisis lingkungan yang serius,” tegasnya.
Ia menyebut, pembakaran terbuka tersebut jelas melanggar tiga instrumen hukum: Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah.
“Artinya, kegiatan pembakaran ini harus segera dihentikan karena jelas melanggar hukum. Pemerintah daerah punya dasar yang kuat untuk menindak pelaku, baik oknum lapangan maupun pengelola TPS yang membiarkan hal itu terjadi,” kata Hendrik.
Akar Bhumi Indonesia menilai bahwa permasalahan ini tidak semata soal pembakaran, melainkan lemahnya sistem pengelolaan sampah Kota Batam secara keseluruhan. Pihaknya menemukan banyak pekerja kebersihan yang tidak dilengkapi dengan Alat Pelindung Diri (APD) sebagaimana diatur dalam Perda No. 11 Tahun 2013 Bab tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja.

“Pekerja-pekerja pengelola sampah ini sangat penting. Mereka berhadapan langsung dengan bahan berbahaya setiap hari. Tapi di lapangan, kami melihat banyak yang tidak memakai masker, sarung tangan, bahkan sepatu pelindung. Ini sangat berbahaya bagi kesehatan mereka,” ungkap Hendrik.
Ia menambahkan, pemerintah kota perlu segera melakukan pembinaan terhadap tenaga kerja kebersihan dan memastikan ketersediaan APD serta insentif yang layak. “Mereka adalah garda depan yang menjaga kota tetap bersih. Sudah semestinya mendapatkan perhatian lebih, bukan malah dibiarkan bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi,” tambahnya.