
Telegrapnews.com, Batam – Kisruh sengketa batas wilayah kembali mencuat. Kali ini bukan soal tambang atau jalur laut, tapi soal Pulau Tujuh – gugusan pulau yang selama ini tenang, kini jadi pusat ketegangan antara Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) dan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
Mantan Ketua DPRD Babel, Emron Pangkapi, mengklaim Pulau Tujuh yang berada di kawasan Desa Pekajang, Kabupaten Lingga, sejatinya merupakan wilayah sah milik Babel berdasarkan Undang-undang No. 27 Tahun 2000. Ia bahkan menyerukan Presiden Prabowo Subianto untuk turun langsung menyelesaikan polemik ini.
“Pulau Tujuh sudah jelas masuk Babel berdasarkan peta lampiran UU. Tapi sekarang diklaim masuk Kepri. Ini preseden buruk. Presiden Prabowo harus turun tangan sebelum makin liar,” tegas Emron seperti dikutip babelpos, Selasa (24/6).
Tak main-main, Emron menyebut ada indikasi penetapan batas wilayah yang ‘negosiatif’, bukan berdasarkan hukum dan fakta geospasial. Bahkan, ia menyamakan kasus ini dengan kisruh batas wilayah Aceh yang sempat memicu gejolak.
Sementara itu, warga Pekajang angkat suara. Rajab (31), salah satu warga Desa Pekajang, menegaskan bahwa secara faktual, historis, dan administratif, wilayah tersebut adalah bagian dari Kabupaten Lingga, Kepri.
“Kami sudah lama merasakan kontribusi Kepri. Listrik, pendidikan, sinyal, dan sosial semua dibangun Kepri. Itu fakta, bukan klaim,” ujar Rajab dilansir Tribunbatam.id.
Alasan Klaim Babel
Namun, klaim Babel bukan tanpa dasar. Jarak dari Pulau Tujuh ke Pulau Bangka disebut lebih dekat daripada ke Singkep atau Lingga. Bahkan, sebelum Kepri dimekarkan, semua aktivitas administratif dilakukan oleh Kecamatan Belinyu di Babel. Penerbitan KTP, pelayanan camat, dan distribusi logistik semua dari sana.
Tapi warga Pekajang punya jawaban lain. “Kami memang dekat ke Bangka. Tapi bukankah sebagai bagian dari NKRI, kami bebas ke mana pun untuk berobat atau mencari rezeki?” ujar Rajab diplomatis.
Masalah makin rumit setelah Kemendagri menetapkan Pulau Tujuh sebagai bagian dari Kabupaten Lingga pada 2022. Babel menilai ini sebagai hasil “politik kompromi” yang mencederai keadilan administratif.
Konflik ini juga membongkar celah lama dalam proses pembentukan Kepri. Saat UU Babel disahkan pada 2000, Kepri justru molor hingga 2002 karena penolakan dari Riau dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Emron menyebut celah itu yang membuat Babel “kecolongan” Pulau Tujuh.
Minta Presiden Prabowo Turun Tangan
Kini, harapan masyarakat Babel tertumpu pada Presiden Prabowo. Mereka menuntut penyelesaian konstitusional, dan tak ingin warisan geografi nenek moyang dicaplok hanya karena dinamika politik pusat.
“Pulau Tujuh bukan sekadar tanah tak berpenghuni. Di sana ada warisan, sejarah, dan kebanggaan rakyat Babel. Ini bukan soal menang-kalah, ini soal keadilan,” pungkas Emron.
Sementara itu, Pemprov Kepri menegaskan akan tetap mempertahankan wilayahnya secara sah dan konstitusional. Konflik batas ini tampaknya belum akan selesai dalam waktu dekat. Presiden ditantang jadi penengah.
Editor: dr