Telegrapnews.com, Batam — Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang mengecam praktik pengoplosan beras subsidi menjadi beras premium sebagai “perbuatan kurang ajar” bukan sekadar retorika. Tapi di Batam, Kepulauan Riau, realitasnya jauh lebih gelap dan mengerikan: praktik ini sudah menjelma menjadi kejahatan ekonomi terorganisir lintas negara, menyerupai operasi mafia pangan.
Investigasi menemukan bahwa ratusan kontainer beras dari Vietnam, Thailand dan Myanmar, melalui Batu Pahat, Johor Bahru Malaysia dan Singapura, masuk secara ilegal ke Batam setiap bulannya—diperkirakan 300 hingga 500 kontainer.

Mereka tidak melewati pelabuhan resmi, melainkan disusupkan lewat pelabuhan-pelabuhan kecil yang dikendalikan pihak swasta. Temuan lain, beras ini masuk melalui Pelabuhan Sekupang. Di situlah permainan kotor dimulai.
Beras tersebut dicampur ulang dengan beras lokal kualitas rendah, dikemas ulang dengan merek-merek lokal fiktif, dan dijual sebagai beras “premium” dengan harga Rp14.600 – Rp14.800 per kilogram.
Sumber Telegrapnews.com, menyebutkan beras di Thailand harganya sekitar 10 bath atau sekitar Rp 5.050.
“Ditambah ongkos dan pengeluaran entertainment untuk pengamanan tiba di Batam, sekitar Rp6.500-Rp7.500,” kata H, sumber telegrapnews, yang juga pemain beras impor di Riau dan Kepri.
Margin keuntungan? Mencapai Rp50 – 80 miliar per bulan. Angka yang cukup untuk membangun irigasi di lima provinsi atau mensubsidi benih jutaan petani.
Namun siapa di balik semua ini?
BJ, Pewaris Taipan yang Jadi Raja Beras Ilegal
Nama BJ, anak dari pengusaha papan atas berinisial AK, mencuat sebagai dalang di balik jaringan perdagangan beras ilegal ini di Batam.
BJ disebut telah membangun jaringan kartel yang menyusup ke jalur distribusi resmi dan tak resmi. Bersama tiga rekan loyalnya, berinisial A, R, dan BS, mereka disebut-sebut punya koneksi hingga ke tubuh BULOG.
Operasi mereka nyaris tanpa cela—hingga sebuah gudang rahasia di kawasan Kartika Pantai Stress, Batu Ampar, menjadi titik awal terbongkarnya jaringan ini. Disebutkan ada juga gudang milik PT UKP di kawasan Mega Cipta Industrial Park, Batu Ampar.
Dari sana, ratusan ton beras ilegal didistribusikan ke gudang tersembunyi di Batu Merah. Lalu disebar ke berbagai wilayah Indonesia lewat jalur tikus laut dan darat.
KM Camar Jonathan 05: Titik Balik Penangkapan
Pada 11 Juni 2025, tim patroli Bea dan Cukai Kepri mencegat kapal KM Camar Jonathan 05. Kapal itu membawa ribuan goni beras ilegal bermerek lokal A-T dan R-P—dua merek yang dikaitkan dengan importir besar Batam berinisial BDM dan AHG.
Sumber internal menyebut, meski nilai resmi belum dirilis, muatannya diperkirakan ratusan juta rupiah. Tapi kasus ini seperti hanya menjadi puncak gunung es. Kartel ini masih mencengkeram pasar.
Dispensasi Diam-Diam, Aksi Setingan, dan Ngopi Para “Naga”
Dalam laporan lain, ditemukan adanya indikasi “permainan dispensasi” yang bertujuan mengangkangi aturan ketat di kawasan Free Trade Zone (FTZ). Para ‘Naga’—julukan untuk pengusaha besar di Batam dan Karimun—diduga duduk semeja bersama pejabat, tokoh lokal, dalam pertemuan tertutup yang tak terpantau media.
Sebuah investigasi posmtero.co menyebut, mereka membahas kemungkinan aksi demonstrasi yang “disetting” untuk menggoyang kantor Karantina, memanfaatkan isu kelangkaan barang dan harga sembako yang melonjak. Tujuannya? Tekanan publik demi kelonggaran izin masuk barang ilegal.
Tangkap, Lepas, dan Kelengkapan Fiktif
Salah satu kejadian paling mencolok adalah penyelidikan terhadap kapal kayu pengangkut sayur pada 12 Juli 2025. Meski membawa beras, gula, dan daging tanpa izin karantina dari pelabuhan ilegal di Batam, kapal itu… dipulangkan.
Lebih ironis, setelah “berbenah” dokumen, kapal itu berlayar kembali ke Karimun hanya dua hari kemudian. Kepala Tim Jagakum Karantina Kepri membenarkan informasi ini. Bahkan ada pengakuan adanya “kebijakan dari Gubernur dan Walikota” yang memungkinkan hal itu terjadi.
Negara Dirampok, Petani Ditindas
Pukulan paling menyakitkan dari skandal ini adalah pada dua titik vital: petani yang makin terpinggirkan, dan negara yang kehilangan wajah dan pendapatan. Setiap kilogram beras ilegal yang lolos berarti hilangnya potensi penerimaan pajak, bea masuk, dan peluang kerja lokal.
Saat Presiden menyerukan kedaulatan pangan, di Batam, realitasnya: kedaulatan itu telah dijarah dari dalam.
Publik Menunggu Tindakan Tegas
Siapa melindungi BJ dan kartelnya? Mengapa pelabuhan tikus masih bebas beroperasi? Mengapa instansi seperti Karantina, Bea Cukai, BULOG, dan aparat penegak hukum belum menindak tegas?
Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di udara Batam yang semakin sesak oleh praktik rente dan kartel.
Yang jelas, publik tidak akan diam. Jika negara gagal menindak mafia pangan, maka kedaulatan bukan lagi milik rakyat—melainkan milik para mafia.
Penulis: lcm, ramon, dr