
Telegrapnews.com, Batam – Amerika Serikat tetap menjadi salah satu mitra dagang utama Kota Batam di awal tahun 2025. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Batam, nilai ekspor nonmigas ke Negeri Paman Sam mencapai USD 658,18 juta sepanjang Januari hingga Februari 2025. Angka ini menempatkan AS sebagai negara tujuan ekspor terbesar kedua setelah Singapura.
Kepala BPS Kota Batam, Eko Aprianto, menyatakan bahwa ekspor Batam ke AS menunjukkan tren pertumbuhan positif, meskipun secara bulanan terjadi penurunan nilai ekspor.
“Nilai ekspor ke Amerika Serikat tumbuh 14,49 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Kontribusinya mencapai 20,40 persen dari total ekspor Batam selama dua bulan pertama tahun ini,” jelas Eko, Selasa (9/4).
Secara total, nilai ekspor Kota Batam pada Februari 2025 tercatat sebesar USD 1,45 miliar, menurun 18,32 persen dibanding Januari. Penurunan ini meliputi ekspor migas maupun nonmigas. Namun secara kumulatif, ekspor Batam tetap tumbuh kuat, mencapai USD 3,22 miliar pada Januari–Februari 2025, atau naik 45,82 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Produk unggulan ekspor Batam masih didominasi oleh mesin dan peralatan listrik, kapal laut, serta mesin dan pesawat mekanik. Komoditas ini sangat diminati oleh pasar Amerika.
“Mesin dan peralatan listrik menyumbang hampir 41 persen dari total ekspor nonmigas Batam,” ujar Eko.
Negara Tujuan Ekspor
Selain Amerika Serikat dan Singapura (USD 674 juta), negara tujuan ekspor utama lainnya adalah Arab Saudi (USD 533,92 juta), Australia (USD 178,22 juta), dan Tiongkok (USD 177,47 juta). Sebagian besar ekspor Batam dilakukan melalui Pelabuhan Batuampar, yang mencatat kontribusi sebesar 75 persen atau senilai USD 2,42 miliar.
Meski optimistis terhadap kinerja ekspor, pelaku usaha kini dihantui kebijakan baru dari Presiden AS Donald Trump yang menetapkan tarif bea masuk sebesar 32 persen untuk sejumlah produk asal Indonesia.
Ketua Apindo Batam, Rafki Rasyid, mengatakan bahwa kebijakan ini memicu kekhawatiran luas di kalangan eksportir.
“Hampir semua produk ekspor dari Indonesia berpotensi terdampak. Ini adalah tarif resiprokal karena Indonesia juga mengenakan tarif untuk produk AS,” jelasnya dilansir batampos.
Hingga kini, belum ada kepastian produk mana saja yang dikenai tarif tersebut. Rafki menilai beban tarif 32 persen sangat berat di tengah pelemahan ekonomi global.
“Sektor padat karya seperti tekstil, sepatu, dan furnitur adalah yang paling rentan. Kalau tidak ada mitigasi, potensi PHK massal bisa terjadi,” tegasnya.
Sebagai langkah awal, beberapa eksportir mulai mengalihkan fokus ke pasar alternatif, termasuk Afrika, demi mengurangi ketergantungan terhadap pasar AS.
Rafki mendesak pemerintah pusat untuk segera melakukan negosiasi tarif dengan AS dan memperkuat pasar domestik.
“Kita bisa tawarkan pembebasan tarif ekspor Indonesia sebagai imbal balik penghapusan tarif impor AS. Selain itu, pasar dalam negeri juga harus kita garap lebih serius,” tutupnya.
Editor: dr